Sabtu, 27 November 2010

makalah.......

PKL
 ( baca pedagang tak bertempat )
Oleh : Yamhari
Guru SD Sembungharjo 03, Kota Semarang
       Persoalan kota besar sangatlah kompleks, disamping penataan tata ruang kota yang harus baik dan sesuai dengan peruntukannya, juga masalah – masalah sosial yang sangat riskan. Sejak terjadinya krisis multi dimensi tahun 1997, terasa tak ada hentinya terpaan kehidupan sosial yang semakin menghimpit. Sebut saja penderitaan kang Karyo yang sebelum terjadi krisis adalah pegawai rendahan pada sebuah perusahaan swasta. Walau pegawai rwndahan yang tugasnya halaman, mengepel lantai, “nggawe wedang “, mengantar surat, tapi kang Karyo masih beruntung, karena masih mendapatkan upah yang memadai untuk taraf kehidupannya sebagai kuli bawahan ( baca Office boy ). Betapa tidak, meskipun gajinya hanya cukup untuk kebutuhan sehari – hari dengan istri dan anaknya, kang Karyo sering mendapatkan uang tambahan dari perusahaan karena rajin bekerja dan tidak pernah absen. Belum lagi tanbahan dari para penggede perusahaan. Uang inilah yang digunakan kang Karyo untuk menmgajak istri dan anaknya sekali – kali datang ke Simpang Lima di Minggu pagi sekedar refresing.
       Sambil melihat – lihat barang dagaangan yang dipajang di seantero simpang lima, waah – wah simpang lima saiki kebak bune, rapat tanpa ada yang tersisa. Untuk berjalan saja susah, semua isinya pedagang.
Padahal dahulu, mereka tidak ada yang berani berdagang di arena ini. Tetapi sekarang mereka mendapatkan kebebasan bisa berjualan dimana saja. Bisa berjualan di tengah lapangan, bisa jualan di trotoar, dan bisa juga menutup jalan untuk jualan, hebat mereka semua.
       Istri kang Karyo, yu Parti yang sedari tadi diam saja, ikut ambil bagian pembicaraan. Pakne kipiye to ... lha wong nyrobot dalan, ngebroki trotoar, ngenggoni lapangan kok diarani hebat. Itu namanya tidak tahu sopan santun dan merusak keindahan kota. Mestinya mereka tahu, itukan ruang publik, semestinya tidak ditempati untuk jualan. Ruang publik harus dikembalikan kepada fungsinya, agar yang berhak dapat menggunakannya. Kata yu Parti dengan nada agak garang, gemas, dan ....
Lho kok kamu malah marah padaku to bune, kang Karyo menyela. Aku tidak marah pada pakne, tetapi aku marah pada mereka yang tidak punya tepo sliro, masak trotoar untuk pejalan kaki ditempati untuk jualan, lapaangan untuk bermain juga dikuasai, lha anak – anakmu kon dolanan ana ngendi pakne, aku yo kemropok karo pemerintah, masak kayak gini dibiarkan, kan lama – lama pemerintah tidak dihargai, tidak dihormati, sambung yu Parti.
       Ya, PKL – PKL itu membuat yu Parti sedikit geram, betapa tidak, biasanya kalau jalan – jalan di keramaian biasa jalan di atas trotoar yang memang diperuntukkan bagi pejalan kaki, juga aman dari padatnya lalu lintas.
       Bukan rahasia lagi bahwa sepanjang jalan – jalan protokol di kota – kota besar tumbuh bak cendawan pedagang – pedagang yang merampas hak orang lain. Disamping menempati ruang – ruang publik, juga kota terlihat kumuh karena tenda – tenda jualan mereka tidak dibongkar meskipun telah usai jualan.
       Sungguh sangaat disayangkan. Dilain pihak pemerintah mencanangkan kebersihan di seluruh sudut kota, dilain pihak ( dalam hal ini masyarakat kecil/ PKL) perlu tempat strategis untuk menjual dagangannya. Perlu diingat setelah terjadinya peralihan kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi seakan tidak ada pengendalian di segalaa sisi.
Orang bebas mengemukakan pendapat karena kran demokrasi dibuka lebar – lebar. Merka menganggap sah – sah saja mengemukakan pendapat tanpa ada larangan dari pihak pemerintah. Eforia kebebasan benar – benar diluapkan masyarakat. Tidak bisa disalahkan. Dalam beberapa dekade dikungkung oleh rezim terdahulu.
       Orde Baru berganti Orde Reformasi. Reformasi yang berarti perubahan, mampu merubah semua tatanan yang telah ada. Perubahan bagi rakyat kecil dimaknai dengan kebebasan tanpa batas. Rakyat bisa anarkis, rakyat bisa semau gue berbuat, termasuk mencari penghidupan. Kebetulan pada saat pergantian kekuasaan berbarengan dengan krisis ekonomi. PHK besar – besaran pada perusahaan, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, pengangguran semakin meningkat. Orang banyak berfikir, menjajakan dagangan di tempat keramaian sangat menguntungkan. Maka banyaklah bermunculanpedagang asongan di mana – mana. Penguasa sulit mengendalikan. Berdalih demi perut yang lapar, mereka tidak takut dengan peraturan. Fenomena seperti ini tidak mampu ditertibkan pemerintah sampai sekarang. Wawohu alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar