Senin, 28 November 2011

cerpen cerpen cerpen

Ciu Terakhir
Oleh Yamhari
Entah suddah berapa banyak yang masuk perutku, aku tak lagi ingat. Mengingatpun enggan, tak pernah aku mengingatnya saat aku flay. Mana ingat orang mabuk kok harus mengingat berapa banyak yang telah diminumnya.
Badanku sempoyongan, seperti biasa aku langsung tertidur pulas diantara keramaian orang yang sedang jingjrak – jingkrak menari ditemani wanita berkonde dan berkebaya sambil membawa sampur untuk menari. Sudah jadi jamak lumrah setiap ada orang yang punya hajat mantu mesti ada pementasan  tayup. Tidak ketinggalan sesloki arak putih turut serta memanaskan suasana.
Malam itu mataku tak dapat ku pejamkan. Ingat tempo hari mabuk sempoyongan tertidur diantara kerumunan orang yang sedang menari. Tak ada artinya badan ini kelimpungan dengan suara nafas yang sedikit mendengkur diantara mereka yang sorak sorai. Badan tak terurus, kurus mata cekung rambut tak beraturan. Menatap sayu tak tau arah. Langkah manakah yang harus kutempuh, tetap mabuk ataukah kuakhiri. Hiduppun sebenarnya aku sudah enggan, matipun aku masih takut sendirian tidur di kuburan, berkalang tanah bertemankan cacing dan kelabang. Ngeri kalau ingat itu semua, tetapi jika sudah ada bau alkohol hidup terasa terang benerang sumringah penuh harapan.
Malam itu tak kunjung kantuk mata ini, aneh.... ingat kejadian tempo hari. Aku mabuk hanya dengan sesloki ciu yang biasanya kuminum berbotol – botol, bahkan mandipun aku dengan ciu, tapi malam itu aku mabuk kepayang dengan sesloki ciu. Badanku limbung, mataku nanar dan bruk...... badan ambruk diantara kerumunan penari yang sedang bersenang – senang.
Lolongan anjing dari kejahuan terdengar, sangat menyayat hati. Suaranya yang memelas seperti hendak disiksa makhluk mengerikan. Ringkihannya menyayat yang mendengar, membuyarkan lamunanku malam itu. Kulihat jam yang ada di dinding menunjuk angka satu dan enam, pertanda waktu pukul satu lebih tigapuluh menit, mata ini belum mau diajak untuk tidur. Menerawang jauh pikiran ini, menjelajah entah sampai mana.
Ciu sesloki, menghantarkan aku mabuk kepayang, sempoyongan tertidur pulas diantara kerumunan penari. Entah apa yang terjadi malam itu, tiba – tiba badan ini limbung tak tertahankan. Ya aku mabuk kepayang bersama bayangan yang selalu menghantui kegalauan ini. Aku terbawa terbang entah di negeri antah berantah. Kudapati orang – orang banyak tercekik lehernya oleh tangannya sendiri, kudapati orang – orang berperut buncit dan tak mampu mengeluarkan kotoran dari duburnya, kulihat orang – orang melonglong seperti anjing yang kudengar tempo hari, kulihat orang – orang terbelenggu oleh anak – anak kecil berkepaala botak berwajah seram dan................. byur, seember air disiramkan oleh ibuku persis di mukaku. Nafasku terpenggal, seperti mau pecat nyawa ini dari raga. Belum genap nyawa ini menyatu untuk mengetahui kejadian apa, sayup – sayup terdengar ibuku ngomel sambil berlalu “ orang tak tahu nyebut marang Gusti ya kayak begini jadinya!” Astaghfirullah,  ucapku dalam hati. Benar juga ibuku ngomel, lha sudah siang begini saya belum bangun, apalagi ingat marang Gusti.
Aku tidak masuk kerja pagi itu, mataku masih sulit untuk dibuka, aku meneruskan tidurku. Dengkuranku terdengar sampai seantero kampung, sudah tidak kaget semua tetanggaku. Kebiasaanku yang terbalik dengan kebiasaan orang kebanyakan mmebuatku cuek dan tak pernah ada orang yang peduli. Semakin menjadi – jadi kelakuanku tak terkendali. Mereka menyebutku raja tenggo, tetapi aku masih memikirkan sesloki ciu yang membuatku mabuk kepayang yang menjadikanku mimpi buruk dan selalu dibayangi kejadian aneh.
Tidurku selalu dihantui mimpi buruk, bertemu dengan makhluk seram dan menakutkan. Aku jadi selalu ingat omelan ibuku “ nyebut marang Gusti “ pertanda apakah ini semua?
Aku tak lagi mencari barang itu, aku mencari Gusti yang diucapkan ibuku. Gusti yang telah lama kutinggalkan. Sesloki ciu telah menbuatku mabuk kepayang, mabuk mendengarkan ayat – ayat setan, bukan mabuk mendengarkan ayat – ayat Gusti.  Kugapai mimpiku, untuk bertemu Gustiku seperti yang diucapkan ibuku.

Mranggen, 281111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar