Kamis, 14 April 2011

celoteh

Robohnya Surau Kami 7

Tak tegak lagi aku berdiri
Untuk sekedar memandangmu
Karena tanah yang kupijak
Mulai rapuh
Kupandang lagi dengan sisa anganku
Ternyata kau tidak tampak
Hanya sayup terdengar
Suara dzikir kelana tua
Di bekas reruntuhan badanmu
Dengan linangan air mata
Meratapi nasib
Bukan nasib badan tua renta
Bukan nasib air mata kelana
Bukan nasib telapak kaki  melepuh
Nasib taburan  benih tak bersemi
Nasib taburan kasih tak berperi
Nasib kelana muda tertunda.

Robohnya Surau Kami 8

Kami dengar bijakmu
Kami dengar dendangmu
Kami dengar alunan musikmu
Begitu merdu
Begitu mendayu
Begitu merayu
Bak bidadari tabur keindahan
Tabur kesejukan
Tabur wewangian
Begitu terbuai impian ini
Tak cerdas  membacamu
Hanya untuk kenikmatanmu saja
Sehingga surau depan rumahku
Robohpun tak ada peduli
Sampai kini
Tak ada lagi tempat mengaji
Aku tak gentar
Aku tak peduli
Hanya mendengar dendangmu
Aku terbuai
Terbuai mimpi – mimpi
Yang tanpa arti



Orang Dungu

Mengapa aku sekarang dungu
Apa karena congekku semakin banyak
Apa karena aku sekarang bebal
Atau, karena aku tak peduli
Mengapa aku sekarang bodoh
Apa karena aku malas belajar
Apa karena aku sekarang ogah membaca
Atau, karena aku tak kuat beli buku
Mengapa sekarang aku kurus
Apa karena aku tak kuat beli beras
Apa karena sekarang aku tidak menanam padi
Atau, karena aku tak punya lahan pertanian
Mengapa sekarang aku sakit – sakitan
Apa karena aku menghirup udara kotor
Apa karena sekarang tidak ada hasil pertanian yang sehat
Atau, karena aku banyak makan makanan yang tidak halal
Mengapa sekarang aku suka berbohong
Apa karena sulit untuk jadi orang jujur
Apa karena berbohong merupan tren hidup
Atau, karena lebih baik bohong daripada jujur
Mengapa  demikian
Yang tahu hanya orang dungu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar