Rabu, 30 November 2011

gado gado

Pelacur
Oleh Yamhari
Remang tak begitu terang lampu penerang warung di pojok kota itu. Sedari aku kecil tak pernah ada yang berubah. Lalu lalang pengunjung begitu ramai, sehingga terasa sesak dan tak leluasa bernafas. Kepulan asap rokok menambah bengek dada yang telah sesak. Bau anyir menyengat terasa terbakar dada ini.
Puluhan tahun, warung di pojok kota itu selalu sesak dipadati pengunjung. Lelaki kekar keluar menentheng segelas air berbau anyir, entah apa nama air itu. Aku tak pernah mendekat, meskipun setiap saat melintas tempat itu. Disusul wanita bahenol dengan lekuk kewanitaannya terlihat jelas, tonjolan yang membuat naik turun jakunku yang tak pernah melihat sebelumnya. Paling – paling aku melihat punya ibuku yang sudah kempet tak berisi. Pakain ketat dandanan menor sedikit terbuka bagian bawahnya, membuat kelelakianku naik turun. Hal itu tak kudapati bila siang hari, karena warung itu tutp rapat tak berpenghuni.
Baru jam sepuluh malam saat aku melintasi tempat itu. Aku sengaja melintas kalau – kalau ada pemandangan gratis seperti tempo hari. Aku tak faham, tempat apakah sebenarnya ini. Hatiku jadi berdebar kencang saat sesosok wanita muncul dari balik pintu warung remang pojok kota. Semakin dekat semakin keras debaran jantungku. Kelelakianku seketika itu tak mampu bangun. Padahal wanita ini lebih cantik dari wanita yang kulihat tempo hari. Entah apa yang terjadi. Sesosok wanita yang amat sangat kukenal, wanita yang sangat aku kagumi, wanita yang membuatku berubah.
Aku belum tahu tempat apakah ini, warung pojok pinggir kotaku. Lelaki perempuan datang dengan kebingaran dan dengan segelas air bau anyir, dengan wanita berdandan seronoh yang membuat siapa saja yang melihat akan tertegun dan menghela nafas,........... dengan bicara yang dibuat manja dengan sedikit centhil menggoda, gairah lelaki mana yang tidak bergelora dengan aroma parfum sedikit menyengat menggairahkan sensitif kelelakian.
Aku yang dari kejahuan saja menikmati suasana ini, apalagi yang berada di sana. Malam semakin larut, sosok wanita yang kukenal, tak lagi muncul. Entah kemana, setelah masuk warung remang sejak tadi tak terlihat penampakannya. Aku mulai bosan, kutinggalkan  tempat itu dengan perasaan gamang.
Tak pulas tidurku malam itu, masih memikirkan wanita yang amat sangat kukenal, memasuki warung remang pojok kota. Memang aku juga tak tahu apa yang diperbuat mereka di dalam, tetapi dengan banyaknya lelaki pengunjung dan wanita berdandan seksi, kalau tidak boleh dikatakan bahenol, aku yakin tempat ini bukanlah tempat yang baik untuk perempuan keluar malam dan berkunjung di tempat itu, jika tidak ada maksud tertentu. Aku sendiri meskipun lelaki tulen, tak pernah berani berkunjung di tempat itu. Karena warung itu buka di tengah malam dan selalu ramai sampai sebelum subuh. Aku tak berdaya memikirkannya. Entah sampai kapan rahasia ini akan terus menghantuiku. Aku jadi ingat temanku yang dari kota besar, yang sudah terbiasa dengan suasana seperti itu, pernah mengatakan, bahwa tempat seperti itu biasanya tempat prostitusi terselubung. Waduh istilah apalagi ini, mungkinkah itu benar seperti yang dikatakan temanku. Lalu, wanita yang amat aku kenal masuk ke dalam lingkaran warung remang di pinggir kotaku...........

Mranggen 291111
Bang Toyib
Lama  nggak pulang bang...
Abang nggak punya uang
Atau mau pulang
Lupa alamatnya
Yang ternyata
Alamat palsu baruku
Yang pindah entah ke mana
Kemana akan kau cari bang
Sudah tiga tahun bang
Abang nggak membelaiku
Aku mencari belaian yang lain
Karena kuyakin
Bang Toyib punyai belaian yang lain juga.


Senin, 28 November 2011

puisi puisi puisi

gelisah

tanpa sebab
berdebar
tak berasa
asa melayang
ke ujung angan - angan
hanya satu pinta
dalam kenang
terbuai sayang

kuingin mengenang
tak sanggup
dalam angan
yang melayang

cerita misteri


Dian Mati Tengah Wengi
Dening Yamhari
       Mbuh saiiki wis jam piro, aku ora ngerti, amargo bengi kuwi peteng ndedet lampu listrik mati wiwit ana udan deres ndadak nganggo angin pisan. Bledege  nyamber – nyamber kilate pating cleret ndadekake getering ati. Anak lan bojoku wis padha mapan turu kira – kira rong jam kepungkur. Katon angkler olehe padha turu, ngorok senggar senggor.
Nanging bengi kuwi aku durung bisa ngeremake mripatku, isih mentheleng wae. Aku isih kelingan apa sing dingendikakake kancaku sing saiki wis dadi wong gedhe 1). Sajak penak pangandikane, tiba kena ora ana sing ora kepenak. Bebasan yen wong numpak sepeda, tiba ya ana ing kasur. Jan empuk kabeh pangandikane.
Aku dadi  kepelut kepengin kaya deweke. Nyambut gawe entheng oleh duwit ombo 2) , waduh enak kepenak tenan. Sapa sing ora kepingin.
Nanging kabeh kudu dijumbuhake karo kahanan lan pendidikan. Ojo waton melu, nanging kudu ngeri empan papan, ojo mung grubyak grubyuk kayak anggota parlemen, yen njupuk duwit negara bebarengan, yen ngendika jarene hake anggota, arane stuydy banding jebul yomung padha yap yapan, padha klencer. Apa ono study banding kok sing diparani pas lagi libur, njur kepriye... . mbuh cah padha digagas dhewe – dhewe, yen wis padha paham ora usah padha niru mundhak negarane dhewe dadi tambah ora genah. Sing wis padha kebanjur ya dielingake, sing durung padha nglakoni ojo pisan – pisan melu. Nyedak kok kebo gupak, yo bakal gabul lemah kabeh, elinga sesantine para winasis jaman semono, “ sak beja bejane wong sing lali, isih bejo wong kang eling lan waspadha “ mulatha para sedulur saiki awake dhewe padha ngati – ngati.
Bali maneh marang kancaku mau, pancen dheweke kuwi pengkuk, bocah wasis, pinter, lan pancen peng – pengan. Ladalah lagi enak – enake ngalamun mak pet, dian sing tak sumet dumadakan mati, ora ono angin gedhe, ora ono sing nyebul kok mati. Mak pengkorok githokku dadi atis, malah jantungku dadi dheg – dhegan kenceng banget, isih keprungu suwara ngoroke bojoku sing senggar senggor nanging mak lap... kaya ana bayangan lan wewangen kang nyolowadi. Tambah geter atiku, aku mung bisa ngenteni apa kang bakal kedaden. Bareng tak gatekake kok kaya ana mripaat loro kang nggatekake aku. Saya susut atiku, saya ora karu – karuan, blaik ana memedi sing mlebu ono ngomahku. Aku maca rapal sak iso – isaku, kabeh jopo montro tinggalane embah kakung tak waca, nanging mripat mentheleng mau ora gelem ilang, cilaka rapalku ora mempan, padahal iki rapal pamungkas, rapal kang paling ampuh. Banjur aku mundur kanthi nglesot, dadakan tanganku nyekel bantal cilik sisih kiwo, wis ora ono akal maneh sing bisa kanggo ngusir mripat mentheleng mau, banjur bantal tak babitake, pas ngenani mripat loro sing mentheleng. Cenger suwara kucing kelaran mlayu sipat kuping ndadak nubruk bala pecah pisan. Pating grompyang suawarane. Lega atiku, dadaku ora sesek maneh... nanging aku kelingan, pira barang bala pecah sing rusak... saking legane atiku aku kebacut turu ana panggonan mau tekan esuk.


cerpen cerpen cerpen

Ciu Terakhir
Oleh Yamhari
Entah suddah berapa banyak yang masuk perutku, aku tak lagi ingat. Mengingatpun enggan, tak pernah aku mengingatnya saat aku flay. Mana ingat orang mabuk kok harus mengingat berapa banyak yang telah diminumnya.
Badanku sempoyongan, seperti biasa aku langsung tertidur pulas diantara keramaian orang yang sedang jingjrak – jingkrak menari ditemani wanita berkonde dan berkebaya sambil membawa sampur untuk menari. Sudah jadi jamak lumrah setiap ada orang yang punya hajat mantu mesti ada pementasan  tayup. Tidak ketinggalan sesloki arak putih turut serta memanaskan suasana.
Malam itu mataku tak dapat ku pejamkan. Ingat tempo hari mabuk sempoyongan tertidur diantara kerumunan orang yang sedang menari. Tak ada artinya badan ini kelimpungan dengan suara nafas yang sedikit mendengkur diantara mereka yang sorak sorai. Badan tak terurus, kurus mata cekung rambut tak beraturan. Menatap sayu tak tau arah. Langkah manakah yang harus kutempuh, tetap mabuk ataukah kuakhiri. Hiduppun sebenarnya aku sudah enggan, matipun aku masih takut sendirian tidur di kuburan, berkalang tanah bertemankan cacing dan kelabang. Ngeri kalau ingat itu semua, tetapi jika sudah ada bau alkohol hidup terasa terang benerang sumringah penuh harapan.
Malam itu tak kunjung kantuk mata ini, aneh.... ingat kejadian tempo hari. Aku mabuk hanya dengan sesloki ciu yang biasanya kuminum berbotol – botol, bahkan mandipun aku dengan ciu, tapi malam itu aku mabuk kepayang dengan sesloki ciu. Badanku limbung, mataku nanar dan bruk...... badan ambruk diantara kerumunan penari yang sedang bersenang – senang.
Lolongan anjing dari kejahuan terdengar, sangat menyayat hati. Suaranya yang memelas seperti hendak disiksa makhluk mengerikan. Ringkihannya menyayat yang mendengar, membuyarkan lamunanku malam itu. Kulihat jam yang ada di dinding menunjuk angka satu dan enam, pertanda waktu pukul satu lebih tigapuluh menit, mata ini belum mau diajak untuk tidur. Menerawang jauh pikiran ini, menjelajah entah sampai mana.
Ciu sesloki, menghantarkan aku mabuk kepayang, sempoyongan tertidur pulas diantara kerumunan penari. Entah apa yang terjadi malam itu, tiba – tiba badan ini limbung tak tertahankan. Ya aku mabuk kepayang bersama bayangan yang selalu menghantui kegalauan ini. Aku terbawa terbang entah di negeri antah berantah. Kudapati orang – orang banyak tercekik lehernya oleh tangannya sendiri, kudapati orang – orang berperut buncit dan tak mampu mengeluarkan kotoran dari duburnya, kulihat orang – orang melonglong seperti anjing yang kudengar tempo hari, kulihat orang – orang terbelenggu oleh anak – anak kecil berkepaala botak berwajah seram dan................. byur, seember air disiramkan oleh ibuku persis di mukaku. Nafasku terpenggal, seperti mau pecat nyawa ini dari raga. Belum genap nyawa ini menyatu untuk mengetahui kejadian apa, sayup – sayup terdengar ibuku ngomel sambil berlalu “ orang tak tahu nyebut marang Gusti ya kayak begini jadinya!” Astaghfirullah,  ucapku dalam hati. Benar juga ibuku ngomel, lha sudah siang begini saya belum bangun, apalagi ingat marang Gusti.
Aku tidak masuk kerja pagi itu, mataku masih sulit untuk dibuka, aku meneruskan tidurku. Dengkuranku terdengar sampai seantero kampung, sudah tidak kaget semua tetanggaku. Kebiasaanku yang terbalik dengan kebiasaan orang kebanyakan mmebuatku cuek dan tak pernah ada orang yang peduli. Semakin menjadi – jadi kelakuanku tak terkendali. Mereka menyebutku raja tenggo, tetapi aku masih memikirkan sesloki ciu yang membuatku mabuk kepayang yang menjadikanku mimpi buruk dan selalu dibayangi kejadian aneh.
Tidurku selalu dihantui mimpi buruk, bertemu dengan makhluk seram dan menakutkan. Aku jadi selalu ingat omelan ibuku “ nyebut marang Gusti “ pertanda apakah ini semua?
Aku tak lagi mencari barang itu, aku mencari Gusti yang diucapkan ibuku. Gusti yang telah lama kutinggalkan. Sesloki ciu telah menbuatku mabuk kepayang, mabuk mendengarkan ayat – ayat setan, bukan mabuk mendengarkan ayat – ayat Gusti.  Kugapai mimpiku, untuk bertemu Gustiku seperti yang diucapkan ibuku.

Mranggen, 281111